Thursday, June 19, 2008

Publication will help!

Looking back to my journeys, and found this article back on August 2006.
This worked!
Publication needed to gather more help.. back than, quite new concerned contacted

Gigih Menyelamatkan 50 Ekor Anjing Terlantar

oleh

Iwan Setiawan

Source: Pet-House, edisi 42 Volume IV/6






















Ketika Rumah Singgah Anjing Telantar


Oleh
Emmy Kuswandari

JAKARTA-Tidak mudah menemukan secarik alamat di belakang Mal Taman Anggrek. Saya harus menyusuri jalan berkelok, menyempit, dan padat penduduk. Kawasan itu termasuk daerah kumuh di belakang gedung-gedung megah di Jakarta Barat. Anak-anak kecil membuntuti di belakang mobil. Sesekali mereka mengetuk badan mobil.

Beruntung, pencarian itu tidak berlangsung lama. Melewati deretan rumah di gang sempit, sampai pulalah di rumah berpagar bambu rapat. Meski sudah menyiapkan diri bakal menjumpai belasan hingga puluhan anjing di tempat yang dituju, tak kurang saya mesti mepet ke tembok dan naik ke tangga kayu untuk menghindari anjing-anjing yang naik-naik hingga ke pundak dan tangan. Mereka menyalak dan mencakar di baju dan celana panjang.

Panggilan dari sang pemilik pun tak digubris anjing-anjing tersebut. Baru setelah mereka berpencar ke seluruh ruangan, saya turun dan menyalami Triyono dan Yan Hidayat yang selama ini mengurus 40-50 anjing telantar sejak empat tahun terakhir ini.
Rumah yang selama ini mereka diami terasa sangat pengap dengan penghuni yang sekian banyak. Salak anjing memenuhi semua sudut rumah. Belum lagi di bagian depan, rumah dari papan tersebut digunakan untuk usaha sablon. Bentangan kain dan alat-alat sablon memenuhi tempat itu. Anugrah Sejahtera Abadi atau ASA Promotion nama tempat usaha itu.

Telantar
Berawal empat tahun lalu, ketika Triyono menemukan satu-dua anjing yang telantar di jalan lalu dipungut dan dipelihara.

Karena jumlahnya masih sedikit, anjing-anjing itu dibiarkan bermain dengan anjing kampung lainnya.
Tak lama kemudian, jumlahnya berkembang dengan cepat, karena sekali beranak mencapai 4-7 ekor sekaligus. ”Kalau tidak diminta orang untuk dipelihara, sekarang jumlahnya mungkin sudah 70-an,” ujarnya.

Setiap harinya Triyono harus mengeluarkan Rp 50.000 untuk membeli tulang dan ikan asin. Tulang-tulang itu direbus dan kuahnya dicampur dengan nasi, terutama untuk makanan utama anjing.
Sementara itu, ikan asin untuk makanan tujuh ekor kucing yang rukun hidup satu rumah dengan puluhan anjing. Pemberian makan cukup sederhana. Rebusan kuah dicampur setampah nasi dan tulang-tulang itu ditumbuk untuk campurannya.
“Berat sebetulnya bagi kami kalau tiap hari mengeluarkan uang sekian banyak. Belum lagi kalau ada anjing yang sakit,” ujar Yan menimpali, rekan Triyono.
Meski seorang dokter hewan yang berlokasi tidak terlalu jauh dari rumahnya sering menyuruh Yan tidak membayar biaya berobat, tetapi lama-kelamaan, ia sungkan juga. Kondisi anjing-anjing di sana relatif baik, tidak kutuan, bulunya juga cukup bersih, hanya tampak beberapa anjing yang kondisinya agak mengkhawatirkan, kurus kurang makan dan gizi karena kalah berebut.

Pernah ada 1 ekor yang kondisinya sangat memprihatinkan dan memilukan, tubuhnya kurus, tulang-tulangnya mencuat berbalutkan kulit, tidak mampu berdiri dan berjalan lagi.
“Anjing itu ketakutan karena sering dikeroyok, akibatnya dia tidak dapat makanan. Sudah berhari-hari tidak makan, sampai lemah seluruh badannya, dan ia tidak bisa jalan. Syaraf-syarafnya mungkin sudah kaku, sehingga untuk berdiri, tulang belakangnya sudah bengkok, “jelas Triyono.
Dia menjelaskan bahwa seorang simpatisan {
reference} sudah melarikan anjing malang itu ke rumah sakit. Setelah dirawat hampir 1 minggu, sekarang keadaannya sudah membaik, kembali lincah.

Meski jumlahnya puluhan, masing-masing anjing itu mempunyai nama panggilan. Triyono atau Yan mengenal baik kebiasaan masing-masing. Snoopy adalah betina pertama yang mereka temukan. Snoopy pula yang usianya paling tua, kurang lebih empat tahun. Sekali beranak bisa tujuh ekor.
Chepy, Belang, Gombloh adalah nama-nama yang mereka berikan. ”Tapi ada pula beberapa yang belum sempat diberi nama,” kata Yan.

Yan mengaku meski terbebani secara finansial, tetapi sebetulnya berat hatinya harus berpisah dengan anjing-anjing yang sudah sekian lama dipeliharanya. ”Pernah ada satu ekor yang diminta orang, tetapi ternyata dibunuh untuk diambil dagingnya. Saya tahunya dari mimpi. Anjing itu datang kembali ke rumah ini,” papar Yan. Setelah dicek, ternyata anjing itu tinggal nama.

Yan akan merelakan kalau anjing yang dipeliharanya dijadikan penjaga sekolah atau gereja. Sejauh ini sudah tujuh anjing yang berjasa sebagai penjaga. Ia memang berharap kalau anjing-anjing di rumahnya bisa berkurang jumlahnya karena dirawat di rumah lain.
Bukan hanya satu-dua orang yang ingin membeli semua anjing itu untuk dijadikan makanan khas. “Biar kami tidak mampu, saya kok tidak rela anjing-anjing itu dibunuh,” ujar Yan.

Tergusur
Kendala yang dihadapi bukan cuma finansial. Agar jumlah anjingnya tidak bertambah, dibantu dari simpatisan, beberapa anjing jantan sudah dikastrasi, yaitu operasi kecil sterilisasi di klinik Depok. Para dokter hewan yang mengerjakan juga turut membantu dengan hanya meminta biaya penggantian obat-obatan dan benang.

Yang membebani pikiran Triyono dan Yan selepas lebaran nanti, rumah yang mereka tempati akan digusur. Bulan Oktober adalah batas terakhir. Rencananya mereka mengontrak tanah di daerah Ceper, Tangerang.
”Mereka pun tetap akan kami bawa kalau tidak ada penampungan hewan atau rumah tangga yang mau menampung. Tapi kami berharap, menjelang Oktober nanti jumlahnya tidak sebanyak ini lagi. Kalau harus memelihara 10-15 ekor kami masih sanggup, tapi kalau 40-50 ekor, rasanya kok kewalahan,” ujar Triyono.

Sources: Sinar Harapan